"Saya menutup telepon dan seketika menyadari sesuatu: tangan saya gemetar. Saya marah. Saya murka. Merasa privasi saya diterjang dan diobrak-abrik. Orang itu datang ke teritori pribadi saya, berbekal asumsi yang ia rakit dari info sepotong, kemudian dengan gagah berani mengusung panji kebenarannya sendiri. Persis prinsip orang main hakim sendiri, tanpa ba-bi-bu merajam sang tersangka tanpa perlu memproses lebih lanjut. Senjatanya bukan batu, melainkan kata-kata. Merenungi itu semua dada saya pun sesak. Sesuatu bergolak sangat hebat."
Penggalan diatas saya ambil dari tulisan Dewi Lestari diblognya. Menarik, karena didalam software development, prinsip main rakit asumsi sendiri untuk membuat user specification, sering terjadi.
Dibilang Dee, "berbekal asumsi yang ia rakit dari info sepotong, kemudian dengan gagah berani mengusung panji kebenarannya sendiri."
Nah, kalau diubah sedikit menjadi, "berbekal asumsi yang ia rakit dari info sepotong, kemudian dengan gagah berani mengusung user specification sendiri." Itu terjadi dibeberapa Senior developer atau system analist khususnya mereka yang saya tahu dan selama saya bekerja lebih dari 5 tahun berkecimpung di IT.
Sering banget saya menemukan hal seperti itu. Punya info sedikit, lalu dengan pedenya berasumsi sebuah flow proses bisnis adalah ini, ini dan ini. Tapi, setelah diimplementasi dan user mencoba, ternyata bukan ini, ini dan ini. Malah itu, ini dan itu.
Sakit hati? Jelas.
Capek? Pasti.
Emosi? Ga perlu. Selama saya masih jadi kopral, perintah komandan mesti dijalankan, meskipun cuma berbekal bambu runcing sedangkan lawan menggunakan Bazoka.
Yang jadi pertanyaan, kenapa bisa begitu? Asumsinya ada dua:
1. Senior developer atau System Analist malu(males) bertanya, yang berakibat sesat dikerjaan.
2. Senior developer atau System Analist memang kelewat pede.
Solusinya?
Seperti tadi saya bilang: Selama masih jadi kopral, perintah komandan mesti dijalankan, apa pun itu meski berbekal bambu runcing sedangkan lawan menggunakan Bazoka.
No comments:
Post a Comment