Sunday, September 10, 2006

Bermain dengan Protein

Mungkin yang sering ada dibenak kita, telor mengandung protein. Tapi, sebenarnya, apakah itu protein? Berikut penjelasan dari Dr Arief B Witarto M Eng, Ketua Kelompok Penelitian Rekayasa Protein dan Bioinformatika untuk Kedokteran, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, pada koran kompas.


Bermain dengan Protein


Arief B Witarto

Pemanfaatan protein untuk berbagai tujuan selain bahan pangan telah dipacu dengan perkembangan bioteknologi. Kemampuan kita sudah tidak terbatas pada produksi massalnya saja, tetapi juga merekayasa protein sekehendak hati. Hal ini mendorong penggunaan protein dalam berbagai bidang, seperti kedokteran, kosmetik, sampai pada militer, dan menjadikan industri protein sebagai sebuah bisnis besar.

DNA sebagai cetak biru kehidupan mengode pembuatan protein. Protein memiliki beragam fungsi, seperti antibodi dalam sistem kekebalan tubuh, enzim yang dapat mengatalis reaksi kimia sampai 1.017 kali lebih cepat, pengubah sinyal seperti protein rhodopsin dalam sel retina mata yang mengubah foton cahaya menjadi sinyal kimia sehingga pembaca dapat menyimak tulisan ini, hormon, dan sebagainya.

Sifat-sifat unggul protein ini telah mendorong aplikasi protein dalam berbagai bidang yang menjadi mungkin berkat perkembangan teknologi sebagai berikut.

Pada tahun 1973, Herbert Boyer dan Stanley Cohen dari Amerika Serikat (AS) berhasil mengembangkan teknologi DNA rekombinan yang menandai revolusi bioteknologi.

Dengan teknik ini, protein yang diinginkan dapat diproduksi dalam jumlah besar dengan menggunakan bakteri yang telah direkayasa secara genetik.

Dahulu, untuk mendapatkan insulin yang diperlukan oleh penderita diabetes mellitus (DM), setiap hari pabrik-pabrik pembuat insulin memerlukan 11 ton organ pankreas yang berasal dari 100.000 lebih hewan ternak seperti sapi dan babi. Sekarang, dengan teknologi DNA rekombinan, hanya dari 1 gram bakteri, bisa diperoleh sekurangnya 10 mg protein murni. Insulin adalah protein pertama yang secara komersial diproduksi dengan teknik ini oleh perusahaan bioteknologi pertama di dunia, Genentech.

Sebagaimana layaknya seorang insinyur sipil dan arsitek merancang bangunan, untuk mempelajari kemudian merekayasa protein diperlukan gambar detail molekul tersebut sampai pada tingkat atom.

Teknik kristalografi sinar X sejak tahun 1910-an telah dikembangkan para ahli fisika dan kimia untuk menjelaskan struktur senyawa kimia, namun belum dapat dipakai untuk protein karena ukurannya yang bisa 1.000 kali lebih besar.

Dengan ketekunan yang tinggi selama 20 tahun, Max Perutz dari Inggris untuk pertama kalinya pada tahun 1957 berhasil menggunakan teknik ini untuk melihat struktur protein hemoglobin yang tersusun dari 10.000 atom lebih.

Berkat jasanya, Max Perutz bersama John Kendrew yang menjelaskan struktur protein myoglobin berukuran seperempat lebih kecil menerima Hadiah Nobel Kimia tahun 1962.

Saat ini, struktur protein berukuran jutaan atom dapat dijelaskan menggunakan teknik ini hanya dalam beberapa bulan. Bila teknik kristalografi sinar X digunakan untuk melihat struktur protein dalam bentuk padat/kristal, telah pula dikembangkan teknik nuclear magnetic resonance (NMR) untuk melihat struktur atom protein dalam cairan. Pengembang teknik ini, Kurt Wuthrich dari Jerman, mendapatkan Hadiah Nobel Kimia tahun 2002.

Setelah barang ada, gambar jelas, yang diperlukan selanjutnya tinggal alat. Praktik mengubah protein sudah dikenal sejak tahun 1960-an, yaitu dengan mereaksikan zat kimia tertentu yang dapat menyebabkan mutasi pada mikroba penghasil protein yang akan diteliti atau langsung kepada protein yang diisolasi.

Namun, seperti diakui Taiji Imoto, editor senior jurnal Protein Engineering, untuk mendapatkan mutasi satu asam amino pada posisi tertentu bisa memakan waktu berbulan-bulan. Untunglah, Michael Smith dari Kanada pada tahun 1978 berhasil mengembangkan metode yang disebut site-directed mutagenesis untuk melakukan mutasi asam amino protein pada posisi yang diinginkan. Mutasi ini dilakukan terhadap DNA pengode protein tersebut dan dapat dituntaskan hanya dalam waktu sepekan. Atas jasanya ini, Smith menerima Hadiah Nobel Kimia tahun 1993.

Dengan berkembangnya tiga teknologi kunci di atas, lahirlah bidang baru dalam bioteknologi, yaitu rekayasa protein. Istilah ini pertama kali dicetuskan Kevin Ulmer dari perusahaan Genex di AS tahun 1983 dalam jurnal Science.

Rekayasa protein

Rekayasa protein telah memberikan peluang kepada manusia untuk bermain dengan protein dengan lebih leluasa dan menyenangkan, seperti mengubah asam amino protein, menyambung rantai polipeptida protein, membuat protein yang hanya mengandung asam amino esensial untuk nutrisi, merancang protein yang dapat menyaring molekul kimia enantiomer, dan sebagainya. Penelitian rekayasa protein mengalami ledakan sejak tahun 1990-an.

Saat ini, setiap tahun tak kurang dari 5.000 paper diterbitkan untuk penelitian ini. Berbagai jurnal yang didedikasikan untuk penelitian rekayasa protein pun banyak diterbitkan, seperti jurnal Protein Engineering, Proteins, dan Protein Science.

Lembaga-lembaga penelitian yang memberikan perhatian besar terhadap riset rekayasa protein juga banyak didirikan, seperti Protein Engineering Research Institute di Jepang, Cambridge Center for Protein Engineering di Inggris, Center for Applied Protein Engineering di Jerman, Center for Protein Structure and Design di Kanada, serta Center for Advanced Research in Biotechnology di AS. Tahun 1991, dibentuklah International Network of Protein Engineering Center (INPEC) oleh lembaga-lembaga itu.

Dengan rekayasa protein, peningkatan sifat protein yang paling mendapat perhatian adalah stabilitas suhu. Sebab, untuk aplikasi protein, sejak tahap produksi, penyimpanan, sampai penggunaan, semuanya dipengaruhi suhu.

Grup peneliti dari Belanda dan Jerman dalam paper-nya berjudul Engineering an Enzyme to Resist Boiling pada tahun 1998 berhasil merekayasa enzim protease lebih stabil terhadap suhu, 340 kali lebih tinggi daripada aslinya. Pada tahun yang sama, para peneliti dari AS berhasil meningkatkan kestabilan suhu protein Gb1 sampai 100>sprscriptres<>res< C.

Peringkat berikutnya adalah perubahan spesifikasi substrat. Hubungan protein dengan substrat sering digambarkan sebagai kunci (substrat) dan lubang kunci (protein), di mana hanya kunci yang cocok dengan lubang kunci saja yang dapat membukanya.

Para peneliti dari perusahaan Gilead Sciences di AS, yang bekerja dengan protein-protein yang terlibat dalam pembekuan darah, pada tahun 1995 dengan melakukan mutasi pada satu asam amino enzim thrombin dapat mengubah spesifikasi substrat protein ini dari fibrinogen kepada protein C, sehingga menjadikan enzim thrombin hasil rekayasa itu sebagai kandidat obat anticoagulant.

Sementara itu, kelompok peneliti dari Perancis berhasil mengubah secara total reaksi kimia yang dikatalis enzim cyclophilin dari isomerisasi menjadi pemotong polipeptida.

Dengan kemampuan-kemampuan di atas, permainan protein sudah menjadi bisnis raksasa. Tahun 2000, perusahaan Amgen di AS berhasil meraup penghasilan 60 miliar dollar AS dan menduduki peringkat pertama di dunia dengan produksi protein-protein untuk kedokteran, seperti erythropoietin (EPO), interferon, dan sebagainya. Genentech berada pada posisi kedua dengan penghasilan 30 dollar miliar AS. Memang, sebagian besar, aplikasi protein hasil rekayasa protein digunakan industri farmasi/kedokteran.

Contohnya, EPO yang digunakan untuk pengobatan anemia, versi mutasinya dapat memiliki umur paruh tiga kali lebih panjang, alias khasiat lebih lama. Menurut perhitungan Merril Lynch, EPO jenis ini, yang diproduksi oleh Amgen, akan meraup penghasilan 1,4 miliar dollar AS.

Di Indonesia, aplikasi protein dalam produk yang digunakan sehari-hari, seperti sabun cuci, sampo, dan pasta gigi, sudah makin populer.

Selain menggiurkan dengan keuntungan besar, permainan protein juga dapat mendebarkan dengan aplikasinya untuk militer. Satu dari jenis senjata biologis yang mematikan, racun botulinum dari bakteri Clostridium botulinium, adalah protein. Zat-zat racun dalam bakteri Bacillus anthracis juga berbentuk protein. Dari jenis senjata kimia, gas kimia misalnya Sarin, VX, OP, bekerja dengan mematikan kerja enzim-enzim dalam sistem saraf seperti enzim acetylcholinesterase.

Pada tahun 1995, para peneliti dari lembaga penelitian medis Angkatan Darat AS berhasil memutasi enzim ini sehingga sama sekali kebal terhadap gas-gas saraf beracun itu. Di LIPI, rekayasa protein digunakan untuk mengembangkan enzim-enzim sebagai alat diagnosa penyakit seperti DM dan kanker.

Dr Arief B Witarto M Eng Ketua Kelompok Penelitian Rekayasa Protein dan Bioinformatika untuk Kedokteran, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI

No comments:

Post a Comment