Bioteknologi telah terbukti mampu melipatgandakan produktivitas, efektifitas, dan efisiensi produksi bahan-bahan hayati (biological product), khususnya di bidang pertanian (agricultural biotechnology) dan kesehatan (biomedical). Dengan semakin majunya ilmu-ilmu pendukung bioteknologi, seperti biologi molekuler, genomics, transcriptomics, proteomics, metabolomics, structural biology, dan bioinformatics sudah seharusnya Indonesia bisa maju dan makmur. Tidak ada lagi masyarakat miskin.
Bagaimana kita bisa memanfaatkan Bioteknologi tersebut? Berikut ulasan yang dibuat oleh Rokhmin Dahuri, Mantan Anggota Kabinet Gotong Royong, kepada Kompas.
Industri Bioteknologi Perairan dan Kemakmuran Bangsa
Rokhmin Dahuri
SUDAH lebih dari 59 tahun merdeka, namun hingga kini kita bangsa Indonesia belum mampu mewujudkan cita-cita luhur bersama, yakni menjadi bangsa yang maju, makmur, berkeadilan, dan diridai Tuhan YME. Bahkan jika pada akhir 1996 GNP per kapita kita mencapai 1.200 dollar AS, sehingga oleh Bank Dunia Indonesia dikelompokkan menjadi negara berpendapatan menengah ke bawah (lower-middle income country), maka sejak krisis ekonomi (medio 1997) kita kembali menjadi negara miskin (poor-income country) dengan GNP per kapita saat ini hanya sekitar 800 dollar AS.
Meskipun sejak tiga tahun terakhir kondisi makroekonomi sudah membaik, tetapi dampak krisis ekonomi masih menyisakan pekerjaan rumah perekonomian bangsa yang sangat mendesak, berat, dan kompleks, yaitu berupa jumlah penduduk miskin yang masih besar (40 juta jiwa), tingkat pengangguran yang tinggi (37 juta orang), dan menurunnya daya saing ekonomi bangsa.
Kompleksitas permasalahan bangsa ini menjadi semakin tinggi karena kita hidup dalam era globalisasi dengan ciri utamanya adalah perdagangan bebas dan semakin menipisnya batas antarnegara (borderless world). Dengan kata lain, dalam era globalisasi ini suatu bangsa hanya bisa survive dan maju jika ia mampu memproduksi barang (goods) dan jasa (service) yang memiliki nilai tambah dan daya saing yang tinggi.
Oleh karena itu, setiap komponen bangsa dan sektor pembangunan harus mengeluarkan kemampuan terbaiknya (bekerja maksimal) serta menjalin kerja sama secara produktif agar kita sebagai bangsa selekas mungkin keluar dari permasalahan jangka pendek di atas dan sekaligus dapat memenangkan persaingan global. Sebagai sektor pembangunan yang baru, kelautan dan perikanan mempunyai potensi yang sangat besar untuk menjadi salah satu prime mover (penghela) pembangunan nasional menuju Indonesia yang maju, makmur, berkeadilan, dan diridai Tuhan YME. Dan, salah satu potensi itu adalah industri bioteknologi perairan.
Potensi ekonomi industri bioteknologi perairan
Jumlah penduduk dunia yang terus meningkat sekarang sekitar 7 miliar menjadi 10,6 miliar pada 2050 (UN Projection, 2003) pasti akan mengakibatkan membengkaknya kebutuhan manusia akan bahan pangan, serat, obat-obatan, energi, kosmetik, dan bahan-bahan alam untuk berbagai jenis industri lainnya.
Apabila produksi bahan-bahan tersebut hanya mengandalkan kemampuan alam, tentu tidak akan mampu memenuhi kebutuhan manusia sejagat. Bahkan menurut sebuah studi dari Universitas Harvard bahwa tingkat (laju) ekstraksi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan oleh manusia untuk pertama kalinya melampaui daya dukung (carrying capacity) bumi pada tahun 1980, dan pada tahun 1999 tingkat ekstraksi tersebut telah mencapai 20 persen dari daya dukung bumi (Brown, 2004).
Oleh sebab itu, wajar bila dalam 15 tahun terakhir dampak negatif akibat kerusakan lingkungan alam mulai mengancam kehidupan manusia. Banjir, tanah longsor, kekeringan, dan asap; pencemaran tanah, air, dan udara; semakin berkurangnya sumber air, menipisnya sumber energi (khususnya minyak bumi); dan fenomena El-Nino dan El-Nina hanya sebagian gejala yang menunjukkan betapa bumi kita sudah menjerit dalam memenuhi keserakahan umat manusia dalam mengonsumsi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan.
Bioteknologi telah terbukti mampu melipatgandakan produktivitas, efektifitas, dan efisiensi produksi bahan-bahan hayati (biological product), khususnya di bidang pertanian (agricultural biotechnology) dan kesehatan (biomedical). Dengan semakin majunya ilmu-ilmu pendukung bioteknologi, seperti biologi molekuler, genomics, transcriptomics, proteomics, metabolomics, structural biology, dan bioinformatics, diyakini oleh sebagian besar ilmuwan dan industrialis dunia bahwa bioteknologi akan mampu memenuhi kebutuhan umat manusia terhadap bahan pangan, serat (pakaian), kayu (papan), obat-obatan, kosmetika, energi, dan bahan-bahan hayati lainnya.
Dalam hal ini, bioteknologi perairan (aquatic biotechnology) diartikan sebagai penggunaan organisme (biota) perairan atau bagian dari organisme perairan, seperti sel dan enzim, untuk membuat atau memodifikasi produk, untuk memperbaiki kualitas fauna (hewan) dan flora (tumbuhan), atau untuk mengembangkan organisme guna aplikasi tertentu, termasuk remediasi (perbaikan) lingkungan akibat pencemaran dan kerusakan lainnya.
Bioteknologi perairan juga mencakup ekstraksi (pengambilan) bahan-bahan alamiah (natural products atau bioactive substances) dari organisme perairan untuk bahan dasar industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetika, dan lainnya (Lundin and Zilinskas, 1995). Dengan demikian, aplikasi industri bioteknologi perairan secara garis besar mencakup: (1) ekstraksi bahan-bahan alamiah untuk berbagai jenis industri, (2) perikanan budidaya (aquaculture), dan (3) bioremediasi lingkungan.
Indonesia dikenal sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, dengan luas perairan laut sekitar 5,8 juta kilometer persegi (75 persen dari total wilayah Indonesia) yang terdiri dari 0,3 juta km� perairan laut teritorial; 2,8 juta km� perairan laut Nusantara; dan 2,7 juta km� laut Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Sedangkan, luas wilayah daratan hanya 1,9 juta km� (25 persen dari total wilayah Indonesia).
Sementara itu, di dalam wilayah daratan tersebut terdapat perairan umum (sungai, rawa, dan waduk) seluas 54 juta ha atau 0,54 juta km� (27 persen dari total wilayah daratan Indonesia). Dengan demikian, sebenarnya Indonesia merupakan a water world jika boleh meminjam istilah judul sebuah film yang amat laris pada pertengahan 1990-an yang dibintangi oleh Kevin Costner.
Lebih jauh, baik perairan laut maupun perairan umum Indonesia dikenal memiliki sumber daya keanekaragaman hayati perairan tertinggi di dunia. Laut dan perairan umum merupakan tempat kehidupan bagi beraneka ragam dan jutaan makhluk hidup (organisme), mulai dari yang tak terlihat mata (microscopic) seperti bakteri, sampai makhluk hidup terbesar di muka bumi berupa ikan paus biru (blue whale).
Menurut hasil penelitian para ahli biologi laut dunia bahwa Indonesia merupakan pusat dari coral reef triangle, memiliki hutan mangrove, padang lamun (seagrass beds), dan ekosistem pesisir tropis lainnya yang paling luas dan tertinggi keanekaragaman hayatinya.
Mengingat bahwa dasar (modal) dari industri bioteknologi perairan adalah kekayaan dan keanekaragaman biota perairan, maka Indonesia berpotensi untuk menjadi negara produsen produk-produk bioteknologi perairan terbesar di dunia. Potensi aplikasi bioteknologi dalam mengekstraksi bahan-bahan alamiah (bioprospecting) dari biota perairan untuk bahan dasar industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetika, bioenergy, dan industri lainnya di Indonesia sangat besar dengan perkiraan nilai ekonomi sebesar 40 miliar dollar AS per tahun.
Banyak sekali biota laut dan perairan umum Indonesia yang mengandung bahan-bahan alamiah (bioactive substances) untuk industri farmasi, kosmetika, makanan dan minuman, bioenergy, dan industri lainnya. Contohnya adalah jenis invertebrata laut, tunicate (Tridemnum sp), mengandung bahan aktif (obat) untuk penyembuhan penyakit leukemia, B-16 melanoma, dan M5076 sarcoma.
Salah satu organisme penghuni terumbu karang, ascidian, mengandung bahan aktif untuk penyembuhan tumor sel. Berbagai jenis sponges, yang juga penghuni terumbu karang, mengandung bahan aktif untuk produksi obat-obatan anti-inflammatory, analgesic agents, dan berbagai jenis obat kuat semacam viagra. Chitin yang terdapat dalam kulit kepiting, rajungan, udang, dan lobster telah digunakan dalam industri kertas, tekstil, structural matrices, bahan adhesives, chelating agents, dan obat penyembuh luka.
Selain itu, chitin juga digunakan sebagai campuran pupuk tanaman, dan terbukti meningkatkan hasil panen 10 persen. Zat Chitosan yang juga terdapat dalam kulit kepiting dan udang telah digunakan untuk obat antikolesterol. Kuda laut dapat diekstrak untuk dijadikan obat penenang dan obat tidur.
Tempurung penyu dan kura-kura diekstrak untuk obat luka dan tetanus. Empedu ikan buntal untuk membuat obat tetrodotoxin guna memperbaiki saraf otak yang rusak, dan dikonsumsi sebelum pasien menjalani suatu operasi. Algae hijau jenis tertentu telah dimanfaatkan untuk makanan sehat (healthy food) bermerek dagang sunchlorela yang sudah dikenal di Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir.
Banyak jenis invertebrata, seperti kerang hijau, mengandung senyawa adhesives (perekat) yang telah digunakan dalam industri plywood, cat, underwater cement materials, dental cements, surgical aplications, dan perbaikan tulang patah. Jenis alga laut, Dunaliella salina, merupakan sumber �-karoten yang jauh lebih tinggi ketimbang yang terkandung dalam wortel maupun minyak sawit. Alga laut lainnya, Botryococcus braunii, mengandung senyawa karbon yang dapat digunakan untuk menghasilkan biodiesel dan bioetanol sebagai energi alternatif mengatasi kelangkaan minyak bumi.
Aplikasi bioteknologi yang kedua adalah dalam mendukung perikanan budidaya (aquaculture), yaitu melalui rekayasa genetik (genetic engineering) untuk menghasilkan induk dan benih unggul dengan sifat-sifat sesuai dengan keinginan kita, seperti cepat tumbuh (fast growing), tahan terhadap serangan hama dan penyakit, tahan terhadap kondisi lingkungan tercemar, dan sifat-sifat baik lainnya.
Apabila penerapan bioteknologi dalam perikanan budidaya ini berhasil, maka potensi produksi lestari perikanan budidaya Indonesia sebesar 57,7 juta ton/tahun dapat kita realisasikan lebih besar lagi, dibandingkan dengan produksi perikanan budidaya yang ada sekarang yang hanya sekitar 1,5 juta ton. Untuk melihat potensi perikanan budidaya dalam penciptaan lapangan kerja dan kemakmuran bangsa, berikut ini disajikan dua contoh, yakni komoditas udang dan rumput laut.
Menurut Ditjen. Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan (2004), bahwa luas lahan pesisir Indonesia yang cocok untuk budidaya tambak udang adalah sekitar 1,2 juta ha. Sejauh ini yang baru dimanfaatkan untuk tambak udang, bandeng, dan komoditas lainnya seluas lebih kurang 380.000 ha dengan produktivitas rata-rata 600 kg udang/ha/tahun.
Jika kita berhasil membuka 500.000 ha tambak udang dengan produktivitas rata-rata 2 ton/ha/tahun (sepertiga dari rata-rata produktivitas Thailand), maka dalam satu tahun dapat dihasilkan udang sebesar 1 juta ton. Dengan harga ekspor rata-rata 6 dollar AS/kg, maka dihasilkan devisa sebesar 6 miliar dollar AS. Sedangkan, tenaga kerja yang dapat terserap untuk memproduksi 1 juta ton udang/tahun adalah sekitar 3 juta orang/tahun.
Akan halnya luas laut Indonesia yang sesuai untuk budidaya rumput laut diperkirakan seluas, 1,1 juta ha. Dengan produktivitas rata-rata sebesar 16 ton rumput laut kering/ha/tahun, maka dapat diproduksi sebesar 17,7 ton rumput laut kering/tahun. Dengan harga rumput laut kering di tingkat pembudidaya sebesar Rp 4.500/kg, maka menghasilkan nilai ekonomi (devisa) sebesar Rp 80 triliun/tahun = 9 miliar dollar AS/tahun, dengan penyediaan lapangan kerja sekitar 1 juta orang.
Oleh sebab itu, problem pengangguran dan kemiskinan yang merupakan "bom waktu" bagi bangsa Indonesia, sesungguhnya dapat terbantu penanggulangannya hanya dari dua komoditas budidaya perikanan ini. Padahal masih banyak lagi komoditas perikanan budidaya lainnya yang bernilai ekonomis tinggi, seperti ikan kerapu, kakap, baronang, gobia, nila, patin, jambal putih, kepiting, rajungan, kerang mutiara, kuda laut, teripang, dan ikan hias.
Penerapan bioteknologi yang ketiga adalah dalam produksi mikroba (bakteri) yang secara genetis direkayasa guna menghasilkan mikroba yang dapat memakan (melumat) bahan pencemar (pollutans), seperti minyak bumi dan bahan kimia lainnya. Dengan demikian, mikroba ini dapat digunakan untuk menanggulangi atau membersihkan (bioremediation) pencemaran lingkungan.
Sejak sepuluh tahun terakhir, teknik bioremediation ini telah lazim digunakan dalam menanggulangi pencemaran minyak di laut daripada pembersihan secara kimiawi dengan menaburkan dispersan pada permukaan laut atau secara mekanis dengan menggunakan oil boom dan oil skimmer. Inggris adalah salah satu bangsa yang telah menikmati devisa dari industri bioremediasi ini dengan nilai ekspor sekitar 2 miliar dollar AS/tahun. Sementara Indonesia sampai saat ini masih mengimpor mikroba yang telah direkayasa untuk penanggulangan pencemaran lingkungan.
Nilai ekonomi total yang dapat dihasilkan dari industri bioteknologi perairan Indonesia, yang meliputi ekstraksi natural products untuk berbagai industri, perikanan budidaya, dan bioremediasi adalah sekitar 75 miliar dollar AS/tahun; dan mampu menyediakan jutaan tenaga kerja. Sejauh ini kita baru mampu menghasilkan nilai ekonomi dari industri bioteknologi perairan sebesar lebih kurang 5 miliar dollar AS/tahun (6,5 persen dari total potensi lestari industri biotek perairan). Dengan kata lain, industri bioteknologi kelautan ibarat "raksasa ekonomi yang masih tidur".
Jurus membangunkan raksasa ekonomi yang masih tidur
Guna membangunkan raksasa ekonomi yang masih lelap tidur itu, sejumlah langkah konkret dan sistematis mesti segera dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan komponen masyarakat (stakeholders) lainnya.
Pertama adalah fokus pada penguatan dan pengembangan aplikasi industri biotek perairan yang dapat menghasilkan nilai ekonomi relatif tinggi dan cepat (kurang dari satu tahun), dan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Contoh industri biotek perairan yang dalam tiga tahun terakhir telah dikembangkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan beserta stakeholders adalah pengolahan (peningkatan nilai tambah) rumput laut jenis Euchema cotonii untuk dijadikan SRC (Semi Refined Careggenan) dan RC (Refined Carageenan) yang harga jualnya puluhan kali lipat ketimbang hanya menjual dalam bentuk rumput laut kering (bahan mentah). Pemuliaan induk jenis udang putih, Penaeus vanamei, sehingga telah dihasilkan induk dan benur unggul (SPF, Specific Patoghen Free) yang membantu petambak di Lampung, pantura, Sulawesi Selatan, dan NTB meningkatkan produktivitas tambaknya menjadi 10-50 ton/ha/tahun.
Kedua, secara simultan kita segera memulai industri biotek perairan yang padat modal, padat teknologi, menghasilkan nilai tambah jauh lebih tinggi, dan menyerap tenaga kerja cukup besar; tetapi membutuhkan waktu relatif lama (lebih dari 5 tahun) untuk menghasilkan nilai ekonomi. Misalnya, ekstraksi bioactive substances dari organisme perairan untuk industri farmasi (seperti Omega-3, Squalence, tablet, salep, pasta gigi, suspensi, dan viagra); industri kosmetik (seperti sampo, pelembap, lotion, dan wet look cream), dairy products (seperti cokelat, milk shake, puding, es krim, permen, dan sosis); industri cat, tekstil, perekat, film dan karet; bioenergi; dan lain sebagainya.
Dunia usaha (swasta) nasional harus kita dorong untuk terjun dalam bisnis yang sangat menjanjikan ini, atau bermitra dengan swasta asing sepanjang bersifat saling menguntungkan, ada transfer of knowledge buat bangsa, dan kebaikan-kebaikan lainnya bagi Indonesia. Pengalaman Singapura, Malaysia, India, dan China dalam mengembangkan industri biotek perairan melalui kemitraan dengan perusahaan-perusahaan raksasa biotek internasional (seperti CIBA-GEIGY, Bristol-Myers Squibb, Sterling Winthrop, Smith Kline Beecham, dan Unilever) cukup berhasil dan saling menguntungkan (a win-win cooperation). Oleh sebab itu, pola kemitraan semacam ini patut kita teladani, tentunya dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi lokal kita.
Ketiga, pemerintah, pemda, dan masyarakat harus segera menciptakan iklim usaha yang kondusif berupa konsistensi kebijakan, kemudahan, dan kecepatan pengurusan perizinan (tidak ada KKN sehingga mengurangi ekonomi biaya tinggi), kepastian dan penegakan hukum, keamanan berusaha, penyediaan infrastruktur yang memadai, kebijakan perpajakan dan retribusi yang tidak membebani pengusaha, kebijakan ketenagakerjaan yang produktif dan menyejukkan, dan penyediaan SDM andal.
Akhirnya, karena ini pekerjaan raksasa yang memerlukan upaya raksasa secara terpadu, maka guna mempercepat merealisasikan potensi ekonomi raksasa industri biotek perairan kiranya Presiden RI didukung oleh DPR menjadikannya sebagai salah satu prime movers pembangunan ekonomi nasional. Jika keempat jurus ini secara sungguh-sungguh kita laksanakan, insya Allah industri bioteknologi perairan secara signifikan dapat membantu menanggulangi problem bangsa berupa pengangguran dan kemiskinan menuju Indonesia yang maju, makmur, berkeadilan, dan diridai Tuhan YME.
Rokhmin Dahuri Mantan Anggota Kabinet Gotong Royong
No comments:
Post a Comment