Sunday, September 10, 2006

Nutrigenomik, Era Baru Ilmu Pangan dan Gizi

Manusia tidak ada yang sama persis. Biarpun dia kembar. Nah, jika jelas-jelas tidak sama, maka setiap manusia memiliki pola makan yang berbeda. Berikut artikel yang ditulis oleh Prof Dr Sri Raharjo dari Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada tentang ilmu baru dalam bagian Ilmu Pangan dan Gizi yang bernama Nutrigenomik.

Nutrigenomik, Era Baru Ilmu Pangan dan Gizi


Sri Raharjo

BANYAK hal yang menjadi pertimbangan bagi konsumen untuk memilih, membeli, dan mengonsumsi makanan, baik untuk dirinya sendiri, anggota keluarganya, maupun orang lain yang menjadi tanggung jawabnya. Cita rasa jelas menjadi faktor utama, selanjutnya pertimbangan harga, kepraktisan penyajian, kemudahan mendapatkan, dan manfaat bagi kesehatan bisa berubah urutannya tergantung kondisi konsumen.

MASYARAKAT dewasa ini semakin meyakini bahwa melalui konsumsi makanan mereka bisa memelihara kesehatan dan menghindarkan diri dari risiko menderita sakit. Mereka yang berusaha mengendalikan kadar kolesterol darah berusaha menghindari lemak hewani. Yang ingin menjaga struktur tulang yang kokoh akan mengutamakan, misalnya, mengonsumsi susu sebagai sumber kalsium. Yang ingin mencegah risiko kanker usus besar (kolon) akan mengonsumsi makanan berserat. Yang ingin mengendalikan berat badan akan memperhatikan nilai kalori makanannya.

Pemahaman masyarakat tersebut muncul karena advokasi atau rekomendasi dari para ahli berbagai asosiasi profesi yang berkaitan dengan makanan dan kesehatan hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Rekomendasi tersebut disebarluaskan sebagai upaya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat melalui konsumsi makanan. Namun, masyarakat juga sering bingung ketika dihadapkan dengan kenyataan bahwa jenis makanan yang sama dikonsumsi oleh individu yang berbeda menimbulkan efek yang berbeda pula.

Hal yang kurang disadari adalah walaupun secara genetik memiliki kesamaan hingga 99,9 persen, semua manusia masih menyisakan 0,1 persen perbedaan yang justru menjadi pembeda antarindividu. Dengan kata lain, bisa dipahami bahwa tidak ada dua individu yang semuanya sama persis sekalipun mereka saudara kembar. Dalam perjalanan usia tidak ada dua individu yang memiliki "sejarah" makan dan kegiatan yang sama persis. Demikian pula kondisi psikologis dan fisiologis tubuh manusia tidaklah stabil selama 24 jam.

Hal-hal inilah yang ditengarai sebagai penyebab kenapa penelitian menggunakan hewan coba ataupun manusia hasil- hasilnya sering saling kontradiksi. Lebih parah lagi kalau perbedaan hasil penelitian ini diatasi dengan saling menyalahkan antarpeneliti.

Hubungan antara konsumsi makanan dan beragamnnya respons pada berbagai individu dengan latar belakang genetik yang berbeda sudah lama diketahui, misalnya pada kasus galaktosemia dan phenylketonuria (PKU). Galaktosemia, pertama kali ditemukan tahun 1917 oleh F Goppart, adalah varian genetik di mana individu sejak lahir tidak memiliki kemampuan memetabolisme galaktosa (tidak memiliki aktivitas enzim galaktosa-1-phosphat uridyltranferase).

Sebagai akibatnya pada individu ini jika mengonsumi makanan yang mengandung galaktosa akan terjadi akumulasi galaktosa dalam darahnya yang berimplikasi munculya berbagai gangguan kesehatan, termasuk gangguan pertumbuhan mental. PKU, ditemukan tahun 1934 oleh Asbjorn Folling, adalah varian genetik pada individu yang menyebabkan tidak adanya aktivitas enzim phenilalanin hidroksilase.

Sebagai akibatnya pada individu ini jika mengonsumsi makanan yang mengandung phenilalanin akan terjadi akumulasi phenilalanin dalam darahnya yang bisa berakibat terjadinya kerusakan neurologis. Namun, adanya kedua varian tersebut sudah bisa diketahui sejak dini setelah lahir dan ditangani dengan mengelola makanannya agar rendah galaktosa atau rendah phenilalanin.

Dengan semakin majunya perkembangan ilmu gizi, biologi molekuler, genetika molekuler, patologi, toksikologi, fisiologi, dan bioinformatika telah membawa kemajuan pengetahuan manusia menuju dunia ilmu yang baru yang disebut Nutrigenomik. Nutrigenomik mempelajari interaksi antara komponen bioaktif dari makanan dan pengaruhnya pada pola- pola ekspresi gen.

Dalam hal ini termasuk juga interaksi antara komponen bioaktif dari makanan dengan sitesis protein, degradasi protein, dan modifikasi protein yang keseluruhannya bermuara pada metabolisme sel. Munculnya ilmu baru ini dilandasi oleh beberapa fakta yang telah diketahui hingga saat terakhir ini.

Pertama, zat-zat kimia pada makanan berpengaruh pada gen-gen manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang bisa mengganggu ekspresi gen.

Kedua, dalam kondisi tertentu atau pada individu tertentu, zat-zat bioaktif makanan bisa menjadi pemicu yang menyebabkan sakit. Ketiga, sejauh mana zat makanan berpengaruh menyehatkan atau menyebabkan sakit bagi individu tergantung pada kondisi genetik masing-masing. Keempat, konsumsi makanan tertentu yang didasarkan pada pengetahuan kebutuhan gizi, status gizi, dan genotipe individu bisa diarahkan untuk mencegah, mengendalikan, atau bahkan menyembuhkan penyakit kronis.

DI atas sudah dijelaskan bahwa masing-masing kita sebagai individu memiliki perbedaan genetik dan pola tanggap terhadap zat-zat makanan. Sekarang dari sisi makanan itu sendiri ternyata juga sangat kompleks dan beragam kandungan zat-zat bioaktifnya. Pada berbagai penelitian secara klinis yang ditujukan untuk mengetahui pengaruh keberadaan zat makanan tertentu (misalnya: lemak rendah vs tinggi, atau lemak jenuh vs tidak jenuh) sering menghasilkan efek yang berbeda-beda. Hal ini juga bisa disebabkan oleh komposisi makanan yang terdiri dari berbagai komponen minor (kadarnya rendah) yang macamnya sangat banyak.

Untuk mempengaruhi terjadinya perubahan pada tahap ekspresi gen ataupun status metabolisme sel, mungkin komponen minor inilah yang secara efektif berperan. Misalnya untuk menu yang disiapkan atau diolah dengan menambahkan minyak jagung, maka bukan hanya asam lemak tidak jenuh (85 persen) yang ada pada minyak jagung tersebut, namun terdapat juga asam lemak jenuh (13 persen).

Bukan hanya itu, di dalam minyak jagung tersebut juga masih ditemukan berpuluh-puluh macam senyawa lain, misalnya kelompok sterol, sterol asam lemak, tokoferol. Pada tokoferol sendiri bisa terdiri dari alfa, beta, gama, dan delta tokoferol. Demikian pula pada minyak nabati yang lain yang telah dimurnikan sekalipun masih mengandung senyawa- senyawa tersebut dalam jumlah yang sangat kecil (ppm).

HASIL penelitian dari banyak studi ada yang secara konsisten menunjukkan hubungan antara konsumsi makanan tertentu dengan munculnya penyakit kronis dan tingkat keparahannya. Meskipun demikian, secara jelas mekanisme hubungan keduanya belum bisa disimpulkan secara meyakinkan sebagai sebab-akibat. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh adanya zat-zat bioaktif lain yang macamnya dan kadarnya tidak bisa dijaga agar 100 persen selalu sama.

Zat bioaktif pada makanan bisa mempengaruhi ekspresi gen baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada tingkat sel, zat bioaktif ada makanan bisa (1) berperan sebagai ligan (penyambung) reseptor faktor transkripsi, (2) dimetabolisme melalui jalur metabolik primer atau sekunder, dan (3) mempengaruhi jalur pemrosesan sinyal untuk "komunikasi" di dalam atau di luar sel.

Bertambahnya pengetahuan baru di lingkup nutrigenomik selanjutnya akan berdampak pada makin tipisnya batasan antara makanan dan obat. Perbedaan definisi obat dan makanan yang sekarang ada akan mendapat tantangan baru dengan makin majunya nutrigenomik pada dekade mendatang.

Pada waktu lampau para ahli pangan dan gizi hanya bisa menduga bahwa komponen bioaktif pada makanan memiliki pengaruh terhadap proses-proses yang berlangsung di dalam sel. Sekarang mulai muncul bukti-bukti yang mengarah ke situ dan makin banyak terkumpul dari waktu ke waktu. Ini bukan berarti bahwa makanan di masa datang harus diregulasi seperti obat. Hanya saja, harus mulai disadari bahwa peranan komponen bioaktif pada makanan kesehatan dan kebugaran konsumen makin nyata.

LALU, bagaimanakah dampak munculnya nutrigenomik terhadap industri pangan ? Seperti halnya pemasaran produk-produk makanan fungsional yang mulai banyak beredar dan dikonsumsi masyarakat segmen tertentu, maka nutrigenomik akan menjadi dasar untuk membuka era baru industri makanan kesehatan di masa depan. Hanya segmen tertentu dari konsumen yang akan memiliki peluang untuk mencoba menggunakan produk-produk yang didasari oleh pengetahuan nutrigenomik. Pada tahap awalnya yang diperlukan konsumen adalah adanya layanan bagi mereka untuk mengetahui pola- pola genetik yang berbeda secara spesifik antarindividu.

Selanjutnya berkembang menuju tersedianya metode monitoring terhadap penanda biologis untuk mengetahui sejauh mana latar belakang genetik memberikan respons terhadap makanan. Pada saat yang bersamaan, industri makanan akan mulai mengembangkan, memproduksi, dan menghadirkan produk-produk baru dengan muatan nutrigenomik yang makin kuat.

Akhirnya masyarakat konsumen memerlukan layanan konsultasi atau konseling untuk memahami arti hasil uji latar belakang genetik dan hubungannya dengan pilihan makanan yang memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Bagi industri pengolah produk pangan jelas bahwa munculnya nutrigenomik tidak bisa lagi dihadapi dengan cara produksi dengan pola lama.

Mengingat demikian banyaknya komponen keahlian yang terlibat, industri perlu membangun atau memperkuat kemitraannya dengan berbagai partner bisnis, termasuk institusi penelitian yang relevan. Sekalipun nutrigenomik diawali di negara-negara maju, bagi Indonesia memiliki peluang yang tidak kalah besar untuk memajukan bidang ini.


***

Prof Dr Sri Raharjo Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada �

No comments:

Post a Comment